Penulis: Sintia Ningrum Wijayanti
Air mataku menitik. Kubiarkan titik-titik itu jatuh membasahi pipi. Mengalir deras, menganak sungai, menetes membasahi mukena. Usai memanjatkan doa-doa, mengharapkan ampunan dan keridhoan-Nya, aku bersujud lagi, khusyuk. Jam dinding di ruang depan berdentang menandakan tepat pukul empat pagi. Aku bangkit dari sujudku. Membiarkan ketenangan dan kedamaian meresap kedalam hati. Menikmatinya selama beberapa menit. Kemudian kuambil Al Qur’an yang telah kusiapkan. Membaca Al-Qur’an menjadi obat mujarab bagi kerapuhan hati dan jiwaku.
Tak terasa adzan berkumandang. Hatiku bergetar. Kuusaikan bacaanku. Kupeluk dan kubenamkan mushaf kedalam dadaku. Aku tak ingin kejadian seperti dulu terulang kembali. Tidak sekarang atau pun di masa depan. Hatiku harus bersih dari benci, dendam dan segala penyakit hati lainnya agar tak membahayakan hidup orang.
Masih memeluk mushaf, pikiranku melayang pada saat setiap memasuki gerbang sekolah waktu SMU dulu. Berpasang-pasang mata entah milik siapa saja yang kutemui, menyorot enggan. Ada juga yang melengos ketika tanpa sengaja bertemu mata. Apalagi kalau aku sampai bertemu wajah-wajah bersih kuning langsat dengan gaya sok beauty, Cicil cs. Ffuh… bagi mereka aku hanya makhluk buruk rupa yang sudah tak tak berdaya, khusus tercipta hanya jadi bahan mainan mereka saja.
“Eh, si kurus mata empat,” bisik seseorang, melumpuhkan kepercayaan diriku. Mata bundarnya tak lepas mengawasi gerak gerikku. Seharusnya mata bundar Cicil menemukan sisi lain dari diriku. Kuhentikan langkahku. Tak lama Cicil dan Ayu lewat dari sebelah kananku. Dewi dan Jelita lewat dari sebelah kiriku. Sebelum menjauh, Cicil sempat berpaling melempar senyum kemenangannya padaku. Keempatnya berjalan bak model catwalk. Meninggalkan jejak aroma cologne khas masing-masing yang bercampur menggelitik penciumanku. Aku tak akan pernah berani menghadapinya dan tak akan pernah bisa mengalahkan kepopulerannya. Aku terlonjak kaget ketika seseorang melingkarkan tangannya di bahuku. Kupalingkan wajah ke kanan.
“Biarkan saja mereka!” Aku mengangguk, tersenyum pada Diana.
Iqamah dari masjid di kampungku dan dari masjid kampung sebelah yang terdengar lamat-lamat bersahut-sahutan mengembalikanku dari masa lalu. Kuletakkan Al-Qur’an ke tempatnya. Hari ini ada mata kuliah yang harus kuikuti. Aku tak boleh terlambat. Setelah membetulkan mukena, aku pun melaksanakan sholat shubuh.
* * *
Sebenarnya Cicil bukan siapa-siapa. Bukan anak kepala yayasan atau pemilik sekolah. Bukan pula anak pejabat. Bapaknya pegawai kecil di sebuah restoran terkenal. Ibunya bekerja sebagai buruh pabrik. Sebagai anak orang biasa, Cicil terlalu cantik. Kulitnya bersih, mata bulatnya begitu indah. Walau hidungnya tak mancung, namun bibir seksi dan badan ideal yang Cicil miliki membuatnya jadi teramat cantik. Kecerdasannya patut dikagumi. Supel dan ramah pada siapa saja. Membuat banyak orang di sekolah menyukainya. Sial bagiku, kecerdasan yang kumiliki seimbang dengan Cicil. Aku merasa Cicil tak suka aku menyainginya. Seperti pinang dibelah kampak. Sangat-sangat berbanding terbalik. Aku lebih sering berteman dengan buku. Kekayaan orang tuaku tak membuatku populer. Walau aku dan Cicil sama-sama berprestasi. Aku terhitung sebagai pesaing berat meraih juara kelas bagi Cicil. Tak seorang pun menganggapku.
Semua tak penting. Aku tak bermimpi menjadi popular. Aku memang tak suka memanfaatkan kekayaan orangtuaku. Salahkah aku, ingin dianggap sama seperti teman-teman lain? Berharap Cicil cs berhenti mengolok-olokku. Aku tak bisa merubah itu. Imej yang terlanjur melekat. Imej yang tak pernah kuharapkan. Terus mengikuti sepanjang riwayatku di bangku sekolah. Badan kurus keringku. Tampilan burukku. Sempurna ditambah kacamata ini. Benar-benar kebalikannya Cicil.
“Assalamu’alaikum,” Sapa Neni menyeret pikiranku. Meninggalkan sejenak kenangan tentang Cicil dan Diana.
“Wa’alaikumussalam,” Aku membalas jabat tangan Neni. Pipi kanan dan pipi kiri kami bertemu bergantian, “Kok kamu malah balik, nggak ikut kuliah?” tanyaku.
“Ikut, Mutiara,” Neni selalu menyebut namaku dengan lengkap, “Catatanku ketinggalan di bagasi motor. Mau cepet malah ada yang terlupa,” tambahku.
“Ya udah, cepetan diambil sana! Mau ditungguin?” tanyaku menawari.
“Nggak usah.”
“Oke. Ya udah, kalo gitu aku duluan ya….”
“Iyaaa,” Neni menginggalkanku. Suasana pagi akrab dengan kesibukan. Beragam aktivitas yang baru dimulai mengesankan aura tergesa-gesa. Dikejar-kejar waktu, tegang, mengaduk-aduk perasaan. Apalagi hari pertama masuk setelah akhir pekan.
Sepeninggal Neni, kenangan tentang Diana dan Cicil menyesaki pikiranku. Cerita dari masa silam yang membekas dalam. Mengoyak-ngoyak hati, membangkitkan rasa bersalah tak berkesudahan. Aku tak pernah menganggap olok-olokan Cicil cs. Biasa jadi makanan sehari-hari. Maka aku pasrah dan terima saja. Apa yang dikatakan Cicil cs memang benar adanya. Namun akhirnya berbeda. Sedikit demi sedikit, hatiku mengeras menampung berton-ton kekesalan. Harga diriku terinjak-injak. Cicil merajalela tanpa melihat situasi dan kondisi, ada siapa dan dengan siapa. Setiap melihat Cicil dadaku bergemuruh. Berton-ton kekesalan yang mengelayut di dada terasa semakin berat. Kadang aku susah bernapas. Lari pilihan terbaik saat mataku menangkap sosok Cicil.
“Halah! Mutiara menang di otak doang. Makhluk buruk rupa gitu,” kata-kata itu sering meluncur dari mulut anak laki-laki di sekolah. Kali ini dari Herman. Cicil yang selalu memulai. Bertepatan saat aku melintas di dekatnya. Mata bulat Cicil tertangkap basah mengerling nakal pada ketiga cs-nya. Kuayun secepat mungkin langkahku.
“Lain di mulut lain di hati,” Cicil berhasil membuat Herman keki. Aku masih belum terlalu jauh. Suara ngebas Herman sempat masuk ke dalam telingaku.
“Jijik! Sorry, aku tak akan pernah suka sama Mutiara,” sekeras telingaku untuk tidak mendengar. Tetap saja hatiku tercabik-cabik. Mataku berkaca-kaca. Hatiku hancur lebur tak berwujud lagi. Aku, Herman dan beberapa teman pernah sesekali bertemu, mengerjakan tugas kelompok. Tanpa maksud apa-apa, aku jadi sering terlibat berdua saja dengan Herman. Tugas kelompok selesai, kami pun menjalani hidup masing-masing seperti semula. Apa keuntungan Cicil mempermalukanku di depan Herman? Cicil naksir, cemburu? Aku tak pernah bisa mengerti apa yang dipikirkan Cicil.
Sampai suatu hari. Cicil sialan! Mudah-Mudahan Cicil kecelakaan, kakinya patah! Sumpahku dalam hati. Secepat kilat aku bangkit, meninggalkan Cicil dan Herman cs, sambil menahan sakit. Lututku berdarah, tersungkur di lantai. Terang saja aku tejatuh. Tersandung kaki Cicil yang tiba-tiba menjulur. Aku tak sempat mengelak. Tak ada waktu lagi mencari jalan lain. Terpaksa aku harus lewat di depan Cicil cs. Ada Herman cs juga di situ. Semua orang mentertawakanku. Tak seorang pun menolong. Cicil super keterlaluan! Air mataku membanjir. Toilet sekolah saksi kepedihan hatiku sampai bel masuk berbunyi. Kejadian ini mempertemukanku dengan Diana. Diana membuatku berani kembali ke kelas. Di mana ada Cicil cs yang selalu menjadi duri bagi langkahku.
Mampus lu, mampus! Sumpah serapah yang kuteriakkan setiap hari dalam hati menjadi kenyataan. Kenapa Cicil nggak mampus saja? Kenapa hanya kakinya yang patah? Sekolah ini tak membutuhkan manusia seperti Cicil. Aku tersenyum puas bertemu Jelita dengan tangan di-gips. Hatiku girang mendengar pembicaraan temen-temen kalau Cicil dan Jelita mengalami lakalantas saat mengendarai sepeda motor. Hatiku ringan mendengar kabar, usai menjalani operasi, Cicil harus berada di rumah selama sebulan. Hari istimewa. Rasakan, Cicil pincang! Cicil menunduk saat aku menatap tajam ke arahnya yang sedang berjalan tertatih-tatih menggunakan kruk di koridor. Sekali lagi, aku tersenyum puas.
Aku bersyukur. Do’a dan sumpah serapahku sebagai orang yang terdzalimi, terkabul. Aku yang kecil hati dan tak punya kepercayaan diri, mudah sekali kecewa dan mendendam. Aku mulai merasa tak puas dengan sikap Diana. Entah kenapa aku jadi begitu keakuan. Dan aku tak pernah tau kalau do’a dan sumpah serapahku bisa terjadi dan menimpa siapa saja termasuk Diana.
“Di! Udah jam segini kok belum datang? Aku di tempat biasa, nungguin dari tadi nih,” keluhku lewat handphone. Kutahan geram di dada, agar tak bicara kasar.
“Maaf, aku lupa. Aku lagi di warnet sama Cicil cs. Ada tugas yang harus dikerjakan,” Aku menarik nafas panjang. Lalu menghembuskan asal ke udara. Aku rela terdampar di sini demi Diana. Padahal nonton di rumah lebih nyaman. Papa dan mama menyediakan fasilitas home teather lengkap daripada aku keluyuran di luar rumah. Kudorong gelas es teler yang masih setengah ke tengah meja.
“Kamu sendiri yang bilang hari ini minta ditemenin nonton film Heart2,” kutekan kecamuk di hati dan kupelankan nadaku. Walau masih terdengar jelas aku kecewa, aku tak ingin Diana mendengar semburan kata-kata ganasku.
“Aku salah. Sekali lagi aku minta maaf, ya?” Aku hanya mendengarkan Diana.
“Terlanjur sampe di 21, kamu nonton sendiri aja! Besok pulang sekolah, aku janji main ke rumahmu,” Aku mengunci mulut, tak ingin ada perdebatan yang sia-sia. Saat Diana mengucap salam perpisahan, mulutku masih terkunci. Situasi sekolah berubah. Setelah kecelakaan yang menimpa Cicil, hidupku pun berubah. Tenang, damai. Cicil tak pernah mengolok-olok lagi. Teman-teman lain pun mengikuti jejaknya. Sirna, terbang entah kemana olok-olokan itu bersama peristiwa yang mengawali ketidaksempurnaan kaki Cicil. Langkahnya tak senormal dulu lagi. Aku makin dekat dengan Diana. Dan aku tenang berteman dengan siapa saja, begitu juga Diana. Kumasukkan handphone ke saku celana. Kutinggalkan outlet restoran favoritku dan Cicil. Sopir yang mengantarku terlanjur pulang. Daripada nonton sendirian, aku memutuskan pulang. Saat hendak menanti taksi menepi, hampir saja aku tertabrak sepeda motor.
“Cewek bego! Jalan pake mata!” Teriak laki-laki yang hampir menabrakku dari sepeda motornya. Aku hanya menatap laki-laki yang wajahnya tersembunyi di balik helm. Puas menyumpah serapahiku. Laki-laki itu memacu sepeda motornya. Mengasapiku yang terdiam di trotoar. Taksi yang kuhentikan sejak tadi, baru menepi setelah laki-laki itu pergi.
Laki-laki gila! Jelas dari kejauhan dia melihat kumenunggu taksi menepi. Diterobos juga! Bukankah bisa melajukan motornya dari kanan taksi? Malah menyalahkanku! Laki-laki egois seperti kamu pantasnya mati saja! Teriakku dalam hati. Taksi melaju kencang. Mataku menangkap bayangan laki-laki yang hampir menabrakku. Kuminta sopir taksi mengikuti laki-laki itu. Laki-laki itu terlalu percaya diri. Menggeber motor lakinya dengan kcepatan tinggi di jalan sepadat ini. Brak, krak, srak… Laki-laki itu menabrak pintu mobil yang tiba-tiba terbuka. Badannya terpelanting, terjatuh di atas bagasi mobil yang melintas, baru kemudian jatuh ke aspal. Taksi yang kunaiki mengurangi kecepatan. Untung laki-laki itu tak terlindas kendaraan yang melintas. Untung juga ada orang berbaik hati memberi pertolongan. Dari balik kaca jendela aku tersenyum. Bayangan laki-laki itu semakin menjauh. Nikmati saja! Kalau tidak, kamu tidak akan kapok. Rasakan!
Kecewaku belum teredam. Senyum manis Diana tergambar jelas dalam pikiranku. Tadinya Diana teman yang paling netral. Satu-satunya sahabatku. Kenapa akhir-akhir ini Diana sering lupa padaku? Sejak aku dan Diana memilih jurusan yang berbeda dan harus berada di kelas yang berbeda. Diana sering menyalahi janji yang dibuatnya. Lupa dengan apa yang dikatakannya.
“Mut, pokoknya setiap jam istirahat kamu harus menjemputku di kelas,” katanya suatu hari.
“Ia,” kataku.
“Bener ya… Aku nggak akan ke kantin kalo kamu belum jemput aku di kelas.”
“Ia,” kataku lagi,
“Janji?” Ulang Diana. Aku mengangguk.
“Ngomong, dong! Jangan cuma nganguk-angguk aja.”
“Ia, aku janji,” kataku sambil tersenyum.
Sekarang, Diana yang mengatakannya sendiri, Diana sendiri yang melupakannya. Aku ingat waktu kelasku terlambat keluar lima menit setelah bel istirahat berbunyi. Saat aku menyusul Diana ke kelasnya…
“Kamu terlambat, Mutiara. Diana udah ke kantin dari tadi,” Aku merasa tertipu saat pertama kalinya Diana meninggalkanku pergi ke kantin lebih dulu.
“Makasih, Sis,” Aku berbalik, tak sabar menyusul Diana. Di kantin, Diana kutemukan asik menyantap bakso kesukaannya. Tangannya melambai dengan segaris senyum lebar di wajah oval dengan tulang pipi menonjol. Membuatku tak pernah bisa melupakan senyum manis Diana.
Sejatinya aku tipe orang yang suka menyendiri. Tak biasa bergantung dan mempercayai teman. Tak pernah bersahabat atau beteman terlalu akrab. Diana orang pertama yang bisa akrab denganku. Mau main ke rumahku. Aku pun membiarkan Diana bergantung padaku. Membiarkan Diana selalu menggangguku. Membiarkan Diana mempercayaiku. Aku meluangkan waktu jika Diana membutuhkanku. Lalu mengapa setelah berpisah kelas, Diana tak ingat padaku? Tak membutuhkanku lagi? Hanya sebatas ini persahabatan yang Diana rangkai. Aku selalu menunggu Diana di tempat biasa kami bertemu. Mataku sesekali tertuju pada bangku semen di samping tangga. Di mana aku dan Diana menghabiskan waktu bersama.
“Sampai kapanpun kamu nggak boleh melupakan aku!”
“Kok harus gitu?” Protesku suatu hari dengan kata-kata Diana.
“Karena kita sahabat,” Diana tersenyum sumringah.
“Ooo. Iya-iya,” kataku.
Aku tak berat hati Diana berteman dengan siapa saja. Hatiku berat dengan ucapan Diana yang tak sesuai sikapnya. Kucoba menghubunginya lebih dulu. Lewat Fb, Ym, menelpon dan lainnya. Aku tak merasakan kedekatan hati lagi dengan Diana. Entah ada apa. Mungkin lebih baik Diana menghilang saja dari Bumi ini. Dulu sebelum Diana masuk dalam kehidupanku, aku juga terbiasa sendiri. Kesendirian bukanlah hal yang mengerikan. Aku sudah terbiasa. Orangtuaku terlalu sibuk dengan urusannya. Tak ada Diana, aku bebas. Tak perlu memikirkannya. Tak perlu lagi melihatnya. Sendiri lebih menyenangkan. Ffuh… Aku membuang napas asal ke udara.
Kulepas ransel yang sejak berangkat dari rumah menggelayut di punggungku. Kelas mulai ramai. Kuambil kursi kosong di pojok depan. Kujatuhkan ransel ke pangkuan. Sambil menunggu kedatangan dosen statistik yang tak banyak disuka karena kedisiplinannya. Mungkin hanya aku yang mengaguminya. Cantik. Kecerdasan menjadikannya dosen di usia muda. Kukeluarkan catatanku dan membacanya lagi. Hiruk pikuk gaduh obrolan teman-teman tak membuyarkan pikiranku tentang Diana. Aku merindukannya.
“Akhirnya sampe juga,” Neni menjatuhkan dirinya ke kursi sebelahku. Aku melempar senyum padanya sambil membolak-balik catatan.
“Gila aja sampe nggak ngumpulin tugas gara-gara ketinggalan… Ancur nilaiku.! Kayak nggak tau aja si nona perfeksionis.”
“Makanya, lain kali jangan terburu-buru,” Neni menyiapkan catatannya.
“Biasa, udah stres duluan mengingat wajah seriusnya itu,” Aku tersenyum lagi-lagi tanpa menatap Neni.
“Selamat pagi,” Akhirnya dosen yang kukagumi datang. Aku siap menerima materi kuliah pagi ini. Kusimpan rapi kenangan tentang Cicil dan Diana untuk sementara waktu di sudut hati.
* * *
Mengenang Cicil dan Diana sama dengan membongkar kebusukan hatiku. Kenangan yang teramat menyiksa. Karena Cicil aku mulai berkaca. Rambut yang selalu kukucir kuda, kupotong dengan model terbaru yang sesuai bentuk wajahku di salon langganan mama. Kuganti kacamata besarku dengan softlens. Jika kuperhatikan, aku tak kalah cantik dengan Cicil. Aku mencoba belajar hidup dalam dunia nyata. Walau aku sangat menyukai buku, tak selamanya buku menjadi teman seperti layaknya manusia.
Aku harus kehilangan Diana karena sumpah serapahku. Diana meninggal dalam kecelakaan bus yang membawa teman-teman satu sekolah berlibur keBali di acara perpisahan kelas. Kemarahanku yang membabi buta. Diana menolak ajakan liburanku ke Singapura. Seperti biasa, aku menyumpahinya dalam hati. Mengapa setiap sesuatu yang terlintas dalam pikiranku, kemudian tercetus dalam hati, selalu jadi kenyataan? Baik yang sengaja kuteriak-teriakkan saat aku merasa kecewa, terdzalimi, maupun yang tak pernah terpikirkan dan tak kurencanakan sama sekali. Ini kutukan!
“Jangan menangis terus! Nanti hilang cantiknya. Astaghfirullohal’adzim …!” Bu Mimi membimbingku, mengulang-ulang agar aku ikut beristighfar. Tangan Bu Mimi mengelus pipiku saat aku tengadah menatapnya dengan wajah basah.
“Diana meninggal gara-gara Mutiara,” Bu Mimi mengecup keningku. Air mataku jadi semakin tak terbendung.
“Nggak seperti itu. Umur Diana memang sudah sampai di sini saja,” Aku menghambur ke dalam pelukan Bu Mimi.
“Ini kelebihan untuk Mutiara. Allah sayang sama Mutiara.”
“Ini kutukan,” Bu Mimi mengelus-elus kepalaku dengan lembut. Kurasakan hangat kasih sayang baby sitter yang merawatku sejak bayi. Tak ingin kalah dengan Papa, Mama lebih memilih mengurusi perusahaan. Kadang kami bertiga hanya bertemu beberapa hari. Kadang papa di Singapura. Kadang mama di Bali. Pilihan Papa dan Mama yang sangat kubenci. Dibanding mama ibu biologisku, Bu Mimi yang hanyalah orang lain lebih dekat denganku. Mulai sekarang Bu Mimi kuangkat menjadi ibu angkatku. Baktinya, ketulusannya selama ini pada keluargaku baru kusadari. Tangan Bu Mimi terus mengelus-elus kepalaku. Menenangkanku. Setelah kuceritakan semua sakit hati dan kecewaku pada Diana. Dadaku begitu ringan. Kurasakan dan kudengar degup jantung Bu Mimi dalam isakku.
“Kalau Mutiara merasa setiap kata-kata Mutiara selalu terkabul., belajarlah mengendalikan emosi,” katanya lembut menenangkanku.
“Terus, apa hubungannya, Bu?”
“Ganti do’a buruk itu jadi do’a baik. Nggak mungkin do’a baik nggak Allah dengar. Bukankah sebagai muslim wajib mendo’akan saudaranya sesama muslim?” Aku masih belum mengerti.
“Yang dibutuhkan Diana sekarang do’a dari kita,” Aku kembali tengadah. Melepaskan diri dari pelukan Bu Mimi. Menatap dalam mata Bu Mimi. Menyelami ketenangan di dalam mata Bu Mimi yang teduh. Aku tak pernah menemukan kebohongan di dalamnya.
Masih kupegang dan kuingat kata-kata Bu Mimi sampai sekarang. Selain Cicil, semoga Mama dan Papa juga mendapatkan hidayah. Aku menuruni anak tangga sambil memperhatikan Bu Mimi yang menjadi kepala pelayan di rumah ini. Bu Mimi tampak meneliti persiapan sarapan pagiku yang baru saja disiapkan Bu Patmi. Sebenarnya hanya setangkup roti dengan beberapa pilihan isi. Meses, margarin, selai atau keju yang sudah berjajar rapi di meja. Disediakan juga telur mata sapi, telur dadar, beberapa iris tomat, selada, saus sambal, tomat dan mayones. Sesuka hatiku ingin sarapan roti dengan apa. Sesuai selera. Segelas jus jeruk dan segelas susu tersedia di samping piring yang sudah berisi setangkup roti kosong.
Kumulai dengan meneguk kandas segelas susu. Kuisi roti dengan selai strawberi kesukaanku. Aku harus terus belajar mengendalikan emosi. Melepaskan kemarahan dan dendam. Aku tak perlu minder dan merasa hidup sendiri. Ada Dzat yang maha agung, yang begitu memahami kegelisahan hatiku. Yang selalu bersamaku dan selalu di dalam hatiku. Itu yang diyakinkan Bu Mimi padaku. Yang terpenting aku harus menjaga hatiku. Jika aku bisa menjaga hatiku, maka lebih mudah lagi menjaga lisanku. Aku akan berhati-hati. Cukup dengan kehilangan satu orang saja, Diana.
“Bu Mimi, sarapan yuk. Temenin aku ya, Bu!” Pintaku dengan nada memohon.
***
Sumber: Majalah Annida